Langsung ke konten utama

Stress pada anak serta cara mengatasinya


Beberapa bulan lalu saya melakukan sebuah studi observasional terhadap anak muda sub-urban di daerah Surabaya. Kala itu, seorang 'gatekeeper' kami bernama Yudi menguide kami untuk duduk di sebuah tempat nongkrong ala ala Bandung. Sayapun mulai membuka 'sensor' riset saya, melihat kekanan dan kekiri, keatas juga kebawah. Satu 'scene' yang sangat menarik perhatian saya adalah adanya seorang siswa SMP yang sedang duduk sendirian, ia melihat layar televisi yang menggantung ditas langit-langit Cafe dengan tatapan kosong. Di tangan kanannya terdapat sebuah rokok yang menyala, di tangan kirinya sebuah kertas Ujian Nasional. Selama lebih dari satu jam saya memperhatikan anak tersebut hanya duduk diam dengan tatapan kosong, saya coba mengambil sudut pandang yang lebih dekat dengan pura-pura seliweran di depannya. 'Confirmed' dia hanya melamun dengan tatapan kosong bukan memperhatikan acara satwa yang saat itu sedang dipasang di layar televisi. Kiranya saya coba renungi dan pastikan bahwa kertas yang berada di tangan kirinyalah yang membuatnya begitu tertekan hingga melamun dan menghisap rokok dengan sangat khusyuk.
Hasil observasi tersebutpun pada akhirnya terkonfirmasi melalui beberapa data lain yang didapat oleh teman-teman dari Youth Laboratory Indonesia. Bertambah kuat dugaan atau hipotesis saya dengan terpublishnya hasil riset dari Collegedegreeresearch.net diatas. Ternyata sifat ABABIL  (ABG labil), Galau dari anak muda  tidak hanya dapat ditemukan pada anak muda nusantara. Akan tetapi hal ini merupakan sebuah fenomena global. Sumber utama stress mereka adalah terutama:
1. Akademik
2. Masa depan
Beberapa hal yang melatarbelakangi ketidakstabilan emosi juga rendahnya kemampuan coping emosi anak muda menurut analisis saya adalah:
1. Interaksi online yang lebih tinggi dibanding interaksi tatap muka langsung yang kaya akan pertukaran bahasa tubuh dan emosi
2. Tuntutan sosial yang lebih besar dengan adanya eksposure diri via social media
3. Semakin rendahnya quality time yang penuh dengan pertukaran emosi (curhat) antara orang tua dengan anak
4. Lifestyle zaman yang menuntut segala sesuatu serba instan dan cepat tanpa penekanan pada proses
5. Masuknya informasi yang terlalu banyak pada saat yang bersamaan ke dalam kognisi anak, hal ini didukung oleh adanya sumber informasi yang multichannel saat ini via conventional media begitu pula new media
Yang perlu dilakukan oleh orang tua dan pendidik adalah:
1. Mendukung keseimbangan diri pada anak dengan memfasilitasi lebih banyak interaksi konvensional melalui tatap muka dengan sesama mereka
2. Memastikan anak mendapat porsi waktu/quality time dengan orang tua, bukan sekedar beraktivitas bersama, namun terdapat pertukaran emosi positif didalamnya
3. Penanaman values dan kearifan lebih penting pada saat ini bagi anak dibandingkan dengan penanaman skills dan pengetahuan, hal ini karena anak dari generasi millenial lebih rentan terhadap coping stress yang membahayakan diri
kata kunci: pemasaran, tren anak muda,riset anak muda, riset pemasaran, strategi pemasaran anak muda, jasa riset, jasa riset pemasaran, biro riset pemasaran, konsultan pemasaran, youth culture asia,youth culture report,youth data,youth indonesia,youth insights,youth marketing indonesia,youth marketing reports,youth research,youthlab, indonesian youth, data anak muda, penelitian tentang anak muda, hasil survei tentang anak muda, jasa penelitian, anak muda indonesia, studi anak muda, agensi pemasaran anak muda, isu anak muda

Dr.Muhammad Faisal M.Si
Peneliti Kultur dan Perilaku Anak Muda
Youth Laboratory Indonesia

Kata Kunci: pemasaran , tren anak muda , riset anak muda , riset pemasaran , strategi pemasaran anak muda , jasa riset , jasa riset pemasaran , biro riset pemasaran , konsultan pemasaran , youth culture asia , youth culture report , youth data , youth indonesia , youth insights , youth marketing indonesia , youth marketing reports , youth research, youthlab , indonesian youth , data anak muda , penelitian tentang anak muda , hasil survei tentang anak muda , jasa penelitian , anak muda indonesia , perilaku anak muda , youth behavior , orang tua, studi anak muda

Posted via Blogaway

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hubungan anak dengan Orang Tua pada Generasi Y dan Z

Tabel diatas merupakan hasil studi kualitatif di Yogya dan Solo yang saya lakukan untuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun 2013. Studi tersebut bertujuan melihat relasi antara orang tua dan anak di dua kota di Jawa Tengah dalam rangka penyusunan sebuah sosialisasi dan kampanye anti korupsi yang lebih tepat sasaran untuk generasi muda serta lingkup keluarga. Hasil yang mengemuka cukup mengejutkan, ini karena saya dan tim peneliti dari KPK menemukan pola menarik tentang bagaimana anak pada pendidikan dasar sudah mulai memiliki jarak fisik dan psikologis dengan orang tua. Kami dapati bahwa pada usia playgroup dan taman kanak-kanak, para partisipan masih memiliki ikatan dan kedekatan dengan kedua orang tua. Quality time antara orang tua dan anak masih sangat terasa. Mereka mengemukakan bahwa mereka kerap bermain atau menghabiskan waktu dengan sang ayah dan ibu. Akan tetapi di usia kisaran 7 hingga 10 tahun, anak-anak mengaku sudah sangat jarang berinteraksi dengan orang tua.

Lokasi pacaran anak muda (Perilaku Seks Anak Muda)

Data diatas merupakan hasil baseline survey perilaku sex mahasiswa yang dilakukan oleh Pilar-PKBI pada tahun 2000. Data ini telah berusia 13 tahun, namun saya meyakini berdasarkan berbagai riset Youth Culture yang telah saya lakukan data ini masih relevan untuk kita analisis untuk konteks saat ini. Berdasarkan data tersebut lokasi pacaran anak muda yang paling sering digunakan adalah rumah sendiri (43%). Hal ini sangat erat kaitannya dengan tuntutan ekonomi yang dialami oleh keluarga dari berbagai kelompok sosial-ekonomi saat ini . Dimana, kondisi tersebut "memaksa" kedua orang tua, baik Ayah maupun Ibu untuk bekerja. Karena kondisi tersebut para orang tua menjadi semakin jarang berinteraksi dengan anak-anaknya yang telah memasuki usia remaja/pubertas. Aktivitas di rumah-pun tidak "terjaga"/terawasi dengan baik oleh orang tua, sehingga dapat menjadi fasilitas yang pada akhirnya digunakan untuk perilaku menyimpang dari remaja. Prevensi ternyata bermula dari lingku

Persepsi anak muda tentang 'Hamil di luar Nikah' (dilihat dari Third Person Effect)

Chart 1 Chart 2 Dua chart berikut merupakan hasil salah satu survey online dari Youth Laboratory Indonesian yang dilakukan pada akhir tahun 2012. Kedua pertanyaan tersebut saya masukkan ke dalam survey untuk mencoba melihat kehadiran "third person effect" (TPE). TPE merupakan sebuah gejala dimana seseorang selalu melihat dari sudut pandang orang ketiga. Secara lebih spesifik, sesuatu yang dinilai negatif secara norma akan dipersepsi mustahil terjadi pada diri sedangkan sesuatu yang positif lebih besar kemungkinan terjadi pada diri. Dengan kata lain, penilaian terhadap diri sendiri menjadi tidak obyektif dan riil. Kedua pertanyaan tersebut saya pisah posisinya dalam survey yang kami sebar. Secara mengejutkan kami menemukan bahwa pada kalangan muda, mereka memiliki TPE yang tinggi terkait dengan isu 'Hamil di luar nikah'. Anak muda melihat peristiwa 'Hamil di luar nikah' sebagai sesuatu yang mustahil terjadi pada diri mereka sedangkan di sisi lain mereka me