Langsung ke konten utama

Apa saja yang dilakukan Anak Muda di dunia Maya?


Chart diatas merupakan data analisis dari Kapersky Lab selama periode 2013 terhadap perilaku online anak muda di 7 Negara (Amerika Serikat, Inggris, Saudi Arabia, Jepang, Jerman, Brazil dan Rusia). Data yang sangat informatif tersebut diambil berdasar aplikasi pemantau  dan kontrol kegiatan maya anak muda yang disediakan oleh perusahaan piranti antivirus ternama; Kapersky.
Beberapa kesimpulan yang dapat kita ambil dari hasil data tersebut adalah;
1. Kunjungan ke website pornografi (16,8 persen) walau masih berada di bawah kunjungan ke media sosial (31,3 persen), masih merupakan destinasi utama kaum muda
2. (16,7 persen) dari aktivitas anak muda berada pada ranah transaksi online, sebuah indikasi besarnya 'trust'/kepercayaan anak muda terhadap dunia maya
3. (8,1 persen) memilih untuk aktif di 'forum dan chat'
Berdasarkan beberapa data tersebut, intervensi lebih lanjut yang dapat dilakukan oleh orang tua adalah:
1. Tidak hanya membatasi diri pada pemantauan transaksi offline anak-anak akan tetapi juga senantiasa memantau apa saja yang mereka belanjakan di dunia maya, melalui medium pembayaran apa dan dengan siapa. Sebab, penipuan dalam dunia Maya kerap terjadi. Klausul transaksi yang disediakan di dunia maya juga sering kali terlalu rumit-abstrak bagi kemampuan kognitif anak muda.
2. Dengan semakin banyak beredarnya konten bermuatan seks baik itu lewat media cetak, online, visual maupun audio musik, anak muda semakin merasakan tingginya kebutuhan akan informasi yang terkait dengan pengetahuan seks. Sebab, rendahnya pemahaman tentang seks bagi anak muda akan mengakibatkan cemoohan/social punishment dari kalangan teman peergroup. Hal ini yang salah satunya mendorong anak semakin intens untuk mengkonsumsi media pornografi di dunia Maya. Di sini orang tua dan kalangan pendidik perlu memberikan alternatif media informasi yang 'youthful' tentang pendidikan seks.
3. Kegiatan sosial anak semakin terbawa oleh arus maya. Hal ini perlu disiasati, sebab kecerdasan bersosialisasi secara offline sangat berbeda dengan kecerdasan sosial di dunia Maya. Anak perlu diberi lebih banyak 'provokasi' untuk terlibat dalam berbagai kegiatan offline dengan teman sebaya. Hal ini akan mengembangkan kecerdasan emosi-afektif anak yang lebih baik, terutama dalam berinteraksi secara kelompok (inter/intragroup) maupun interpersonal.
kata kunci: pemasaran, tren anak muda,riset anak muda, riset pemasaran, strategi pemasaran anak muda, jasa riset, jasa riset pemasaran, biro riset pemasaran, konsultan pemasaran, youth culture asia,youth culture report,youth data,youth indonesia,youth insights,youth marketing indonesia,youth marketing reports,youth research,youthlab, indonesian youth, data anak muda, penelitian tentang anak muda, hasil survei tentang anak muda, jasa penelitian, anak muda indonesia, studi anak muda, agensi pemasaran anak muda, isu anak muda

Dr Muhammad Faisal M.Si
Peneliti Kultur dan Perilaku Anak Muda
Youth Laboratory Indonesia

Kata Kunci: pemasaran , tren anak muda , riset anak muda , riset pemasaran , strategi pemasaran anak muda , jasa riset , jasa riset pemasaran , biro riset pemasaran , konsultan pemasaran , youth culture asia , youth culture report , youth data , youth indonesia , youth insights , youth marketing indonesia , youth marketing reports , youth research, youthlab , indonesian youth , data anak muda , penelitian tentang anak muda , hasil survei tentang anak muda , jasa penelitian , anak muda indonesia , perilaku anak muda , youth behavior , orang tua, studi anak muda

Posted via Blogaway

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hubungan anak dengan Orang Tua pada Generasi Y dan Z

Tabel diatas merupakan hasil studi kualitatif di Yogya dan Solo yang saya lakukan untuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun 2013. Studi tersebut bertujuan melihat relasi antara orang tua dan anak di dua kota di Jawa Tengah dalam rangka penyusunan sebuah sosialisasi dan kampanye anti korupsi yang lebih tepat sasaran untuk generasi muda serta lingkup keluarga. Hasil yang mengemuka cukup mengejutkan, ini karena saya dan tim peneliti dari KPK menemukan pola menarik tentang bagaimana anak pada pendidikan dasar sudah mulai memiliki jarak fisik dan psikologis dengan orang tua. Kami dapati bahwa pada usia playgroup dan taman kanak-kanak, para partisipan masih memiliki ikatan dan kedekatan dengan kedua orang tua. Quality time antara orang tua dan anak masih sangat terasa. Mereka mengemukakan bahwa mereka kerap bermain atau menghabiskan waktu dengan sang ayah dan ibu. Akan tetapi di usia kisaran 7 hingga 10 tahun, anak-anak mengaku sudah sangat jarang berinteraksi dengan orang tua.

Lokasi pacaran anak muda (Perilaku Seks Anak Muda)

Data diatas merupakan hasil baseline survey perilaku sex mahasiswa yang dilakukan oleh Pilar-PKBI pada tahun 2000. Data ini telah berusia 13 tahun, namun saya meyakini berdasarkan berbagai riset Youth Culture yang telah saya lakukan data ini masih relevan untuk kita analisis untuk konteks saat ini. Berdasarkan data tersebut lokasi pacaran anak muda yang paling sering digunakan adalah rumah sendiri (43%). Hal ini sangat erat kaitannya dengan tuntutan ekonomi yang dialami oleh keluarga dari berbagai kelompok sosial-ekonomi saat ini . Dimana, kondisi tersebut "memaksa" kedua orang tua, baik Ayah maupun Ibu untuk bekerja. Karena kondisi tersebut para orang tua menjadi semakin jarang berinteraksi dengan anak-anaknya yang telah memasuki usia remaja/pubertas. Aktivitas di rumah-pun tidak "terjaga"/terawasi dengan baik oleh orang tua, sehingga dapat menjadi fasilitas yang pada akhirnya digunakan untuk perilaku menyimpang dari remaja. Prevensi ternyata bermula dari lingku

Persepsi anak muda tentang 'Hamil di luar Nikah' (dilihat dari Third Person Effect)

Chart 1 Chart 2 Dua chart berikut merupakan hasil salah satu survey online dari Youth Laboratory Indonesian yang dilakukan pada akhir tahun 2012. Kedua pertanyaan tersebut saya masukkan ke dalam survey untuk mencoba melihat kehadiran "third person effect" (TPE). TPE merupakan sebuah gejala dimana seseorang selalu melihat dari sudut pandang orang ketiga. Secara lebih spesifik, sesuatu yang dinilai negatif secara norma akan dipersepsi mustahil terjadi pada diri sedangkan sesuatu yang positif lebih besar kemungkinan terjadi pada diri. Dengan kata lain, penilaian terhadap diri sendiri menjadi tidak obyektif dan riil. Kedua pertanyaan tersebut saya pisah posisinya dalam survey yang kami sebar. Secara mengejutkan kami menemukan bahwa pada kalangan muda, mereka memiliki TPE yang tinggi terkait dengan isu 'Hamil di luar nikah'. Anak muda melihat peristiwa 'Hamil di luar nikah' sebagai sesuatu yang mustahil terjadi pada diri mereka sedangkan di sisi lain mereka me