Langsung ke konten utama

Hubungan anak dengan Orang Tua pada Generasi Y dan Z

Tabel diatas merupakan hasil studi kualitatif di Yogya dan Solo yang saya lakukan untuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun 2013. Studi tersebut bertujuan melihat relasi antara orang tua dan anak di dua kota di Jawa Tengah dalam rangka penyusunan sebuah sosialisasi dan kampanye anti korupsi yang lebih tepat sasaran untuk generasi muda serta lingkup keluarga.
Hasil yang mengemuka cukup mengejutkan, ini karena saya dan tim peneliti dari KPK menemukan pola menarik tentang bagaimana anak pada pendidikan dasar sudah mulai memiliki jarak fisik dan psikologis dengan orang tua. Kami dapati bahwa pada usia playgroup dan taman kanak-kanak, para partisipan masih memiliki ikatan dan kedekatan dengan kedua orang tua. Quality time antara orang tua dan anak masih sangat terasa. Mereka mengemukakan bahwa mereka kerap bermain atau menghabiskan waktu dengan sang ayah dan ibu. Akan tetapi di usia kisaran 7 hingga 10 tahun, anak-anak mengaku sudah sangat jarang berinteraksi dengan orang tua. Kedua orang tua sudah berada pada status bekerja, anakpun dititipkan kepada 'mba' di rumah, babysitter ataupun kakek-nenek. Setelah digali lebih dalam, saya dapati bahwa alasan dibalik proses pembiaran atau 'laissez faire' ini bersifat ekonomi, zaman semakin menekan sehingga mendorong Ibu juga untuk turut mengambil peran sebagai pencari nafkah. Selain itu orang tua merasa bahwa anak sudah memiliki kematangan untuk ditinggal di rumah.
Hal ini bagi saya cukup mengkhawatirkan, apalagi bila pola yang sama terjadi pada satu generasi. Maka, kita akan dapati satu generasi yang kepribadiannya terbentuk bukan dari orang tua, akan tetapi lewat media televisi dan internet sebagai pengganti interaksi dengan orang tua. Pada proses perkembangan psikologis anak, kehadiran ayah kerap berperan sebagai sumber moral judgment dan pembentuk values anak. Ayah merupakan role model bagi anak dari sisi kognitif dan cara berpikir, sementara Ibu kerap berperan sebagai naungan emosional. Ibu merupakan tempat mengadu anak dan penghibur anak di kala sedih serta down. Nah, kedua peran tersebut, baik kognitif maupun emosional tidak bisa digantikan dengan device digital. Apabila anak tumbuh besar tanpa bimbingan Ibu dan Ayah secara berkualitas maka kita akan dapati sebuah remaja atau anak muda yang telah matang secara fisik namun tidak dewasa secara kepribadian. Pada usia yang telah matang hal tersebut akan banyak menimbulkan ketidak seimbangan psikis juga emosional bagi anak, karena ia belum memiliki kepribadian yang stabil dan kuat.
Lantas, coba kita bayangkan apabila hal tersebut terjadi pada satu generasi! kita akan mendapatkan sebuah masalah besar. Gejolak sosialpun pasti akan terjadi dengan luas dan pesat. Ketika hal itu sudah terlanjur terjadi, sudah telat untuk menunjuk jari siapa yang salah...


Dr Muhammad Faisal M.Si
Peneliti Perilaku dan Budaya Anak Muda
Pendiri Youth Laboratory Indonesia

Kata Kunci: pemasaran , tren anak muda , riset anak muda , riset pemasaran , strategi pemasaran anak muda , jasa riset , jasa riset pemasaran , biro riset pemasaran , konsultan pemasaran , youth culture asia , youth culture report , youth data , youth indonesia , youth insights , youth marketing indonesia , youth marketing reports , youth research, youthlab , indonesian youth , data anak muda , penelitian tentang anak muda , hasil survei tentang anak muda , jasa penelitian , anak muda indonesia , perilaku anak muda , youth behavior , orang tua, studi anak muda

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lokasi pacaran anak muda (Perilaku Seks Anak Muda)

Data diatas merupakan hasil baseline survey perilaku sex mahasiswa yang dilakukan oleh Pilar-PKBI pada tahun 2000. Data ini telah berusia 13 tahun, namun saya meyakini berdasarkan berbagai riset Youth Culture yang telah saya lakukan data ini masih relevan untuk kita analisis untuk konteks saat ini. Berdasarkan data tersebut lokasi pacaran anak muda yang paling sering digunakan adalah rumah sendiri (43%). Hal ini sangat erat kaitannya dengan tuntutan ekonomi yang dialami oleh keluarga dari berbagai kelompok sosial-ekonomi saat ini . Dimana, kondisi tersebut "memaksa" kedua orang tua, baik Ayah maupun Ibu untuk bekerja. Karena kondisi tersebut para orang tua menjadi semakin jarang berinteraksi dengan anak-anaknya yang telah memasuki usia remaja/pubertas. Aktivitas di rumah-pun tidak "terjaga"/terawasi dengan baik oleh orang tua, sehingga dapat menjadi fasilitas yang pada akhirnya digunakan untuk perilaku menyimpang dari remaja. Prevensi ternyata bermula dari lingku

Persepsi anak muda tentang 'Hamil di luar Nikah' (dilihat dari Third Person Effect)

Chart 1 Chart 2 Dua chart berikut merupakan hasil salah satu survey online dari Youth Laboratory Indonesian yang dilakukan pada akhir tahun 2012. Kedua pertanyaan tersebut saya masukkan ke dalam survey untuk mencoba melihat kehadiran "third person effect" (TPE). TPE merupakan sebuah gejala dimana seseorang selalu melihat dari sudut pandang orang ketiga. Secara lebih spesifik, sesuatu yang dinilai negatif secara norma akan dipersepsi mustahil terjadi pada diri sedangkan sesuatu yang positif lebih besar kemungkinan terjadi pada diri. Dengan kata lain, penilaian terhadap diri sendiri menjadi tidak obyektif dan riil. Kedua pertanyaan tersebut saya pisah posisinya dalam survey yang kami sebar. Secara mengejutkan kami menemukan bahwa pada kalangan muda, mereka memiliki TPE yang tinggi terkait dengan isu 'Hamil di luar nikah'. Anak muda melihat peristiwa 'Hamil di luar nikah' sebagai sesuatu yang mustahil terjadi pada diri mereka sedangkan di sisi lain mereka me