Langsung ke konten utama

Kasus siswa SMU melecehkan Sholat & dorongan social approval (Penjelasan dari sudut pandang psikologi)

Video kontraversial ini beredar kira-kira sebulan lalu dan menjadi bahan cemooh juga obyek amarah bagi banyak penganut agama Islam. Saya sendiri sangat terkejut ketika pertama kali menyaksikan video ini via facebook seorang rekan. Kasus ini menjadi renungan tersendiri bagi saya selaku peneliti kultur anak muda dan akademisi psikologi. Beberapa poin pelajaran yang bisa kita pelajari disini adalah:
1. Anak muda terutama pada usia 14-18tahun sedang berada dalam tahap Identity Formation (pembentukan Identitas) pada tahap ini anak mereka menyerap dengan sangat kuat nilai-nilai yang berada di sekitar mereka
2.Highlight yang perlu ditekankan bagi anak muda Indonesia adalah adanya kecenderungan telatnya pembentukan Identitas karena lingkungan sekolah juga kultur di rumah kurang memberi ruang pendapat juga opini bagi anak muda. Otoritas nilai-nilai terdapat pada sosok guru dan orang tua. Opini juga pendapat banyak di repress/ditekan pada tahap ini.
3. Social Media berperan sebagai orang tua "tiri" bagi sebagian anak muda dimana mereka bereksperimen dengan berbagai identitas dan mendapatkan "approval"/persetujuan dari teman dekat. Hal ini dapat dilihat dari kian intensnya pengguna social media dari Indonesia mengganti status dan foto profil mereka.
4. Proses pencarian "approval" seorang teman semisal  melalui 'like', 'retweet', atau 'repost' menjadi sebuah kompetisi sosial di lingkungan sekolah, sehingga anak muda merasa harus mendapatkan banyak respon dalam posting mereka di social media.
5. Video diatas merupakan salah satu bukti akan kuatnya dorongan sosial untuk mendapatkan approval via social media bagi anak muda. Sedemikian kuatnya dorongan sehingga mereka bersedia untuk melakukan suatu hal kontraversial dan dapat dianggap melecehkan agama.
Sasaran intervensi bagi orang tua juga pelaku pendidikan adalah:
1. Menciptakan lingkungan yang lebih terbuka bagi opini juga pendapat anak muda
2. Memfasilitasi terbentuknya komunitas-komunitas kegiatan anak muda (hal ini dapat mempercepat terbentuknya identitas yang utuh)
3. Ikut terlibat aktif dalam dunia social media sehingga mengerti dan memahami isu-isu yang sedang berkembang di kalangan anak muda
4. Memperkuat self-esteem anak dalam berbagai kegiatan offline, sehingga anak mengerti bahwa self-esteem   juga apresiasi dari diri untuk diri lebih penting dibandingankan approval lingkungan terutama social media
kata kunci: pemasaran, tren anak muda,riset anak muda, riset pemasaran, strategi pemasaran anak muda, jasa riset, jasa riset pemasaran, biro riset pemasaran, konsultan pemasaran, youth culture asia,youth culture report,youth data,youth indonesia,youth insights,youth marketing indonesia,youth marketing reports,youth research,youthlab, indonesian youth, data anak muda, penelitian tentang anak muda, hasil survei tentang anak muda, jasa penelitian, anak muda indonesia, studi anak muda, agensi pemasaran anak muda, isu anak muda

Dr Muhammad Faisal M.Si
Peneliti Kultur dan Perilaku Anak Muda
Youth Laboratory Indonesia
www.enterthelab.com

Kata Kunci: pemasaran , tren anak muda , riset anak muda , riset pemasaran , strategi pemasaran anak muda , jasa riset , jasa riset pemasaran , biro riset pemasaran , konsultan pemasaran , youth culture asia , youth culture report , youth data , youth indonesia , youth insights , youth marketing indonesia , youth marketing reports , youth research, youthlab , indonesian youth , data anak muda , penelitian tentang anak muda , hasil survei tentang anak muda , jasa penelitian , anak muda indonesia , perilaku anak muda , youth behavior , orang tua, studi anak muda

Posted via Blogaway

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hubungan anak dengan Orang Tua pada Generasi Y dan Z

Tabel diatas merupakan hasil studi kualitatif di Yogya dan Solo yang saya lakukan untuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun 2013. Studi tersebut bertujuan melihat relasi antara orang tua dan anak di dua kota di Jawa Tengah dalam rangka penyusunan sebuah sosialisasi dan kampanye anti korupsi yang lebih tepat sasaran untuk generasi muda serta lingkup keluarga. Hasil yang mengemuka cukup mengejutkan, ini karena saya dan tim peneliti dari KPK menemukan pola menarik tentang bagaimana anak pada pendidikan dasar sudah mulai memiliki jarak fisik dan psikologis dengan orang tua. Kami dapati bahwa pada usia playgroup dan taman kanak-kanak, para partisipan masih memiliki ikatan dan kedekatan dengan kedua orang tua. Quality time antara orang tua dan anak masih sangat terasa. Mereka mengemukakan bahwa mereka kerap bermain atau menghabiskan waktu dengan sang ayah dan ibu. Akan tetapi di usia kisaran 7 hingga 10 tahun, anak-anak mengaku sudah sangat jarang berinteraksi dengan orang tua.

Lokasi pacaran anak muda (Perilaku Seks Anak Muda)

Data diatas merupakan hasil baseline survey perilaku sex mahasiswa yang dilakukan oleh Pilar-PKBI pada tahun 2000. Data ini telah berusia 13 tahun, namun saya meyakini berdasarkan berbagai riset Youth Culture yang telah saya lakukan data ini masih relevan untuk kita analisis untuk konteks saat ini. Berdasarkan data tersebut lokasi pacaran anak muda yang paling sering digunakan adalah rumah sendiri (43%). Hal ini sangat erat kaitannya dengan tuntutan ekonomi yang dialami oleh keluarga dari berbagai kelompok sosial-ekonomi saat ini . Dimana, kondisi tersebut "memaksa" kedua orang tua, baik Ayah maupun Ibu untuk bekerja. Karena kondisi tersebut para orang tua menjadi semakin jarang berinteraksi dengan anak-anaknya yang telah memasuki usia remaja/pubertas. Aktivitas di rumah-pun tidak "terjaga"/terawasi dengan baik oleh orang tua, sehingga dapat menjadi fasilitas yang pada akhirnya digunakan untuk perilaku menyimpang dari remaja. Prevensi ternyata bermula dari lingku

Persepsi anak muda tentang 'Hamil di luar Nikah' (dilihat dari Third Person Effect)

Chart 1 Chart 2 Dua chart berikut merupakan hasil salah satu survey online dari Youth Laboratory Indonesian yang dilakukan pada akhir tahun 2012. Kedua pertanyaan tersebut saya masukkan ke dalam survey untuk mencoba melihat kehadiran "third person effect" (TPE). TPE merupakan sebuah gejala dimana seseorang selalu melihat dari sudut pandang orang ketiga. Secara lebih spesifik, sesuatu yang dinilai negatif secara norma akan dipersepsi mustahil terjadi pada diri sedangkan sesuatu yang positif lebih besar kemungkinan terjadi pada diri. Dengan kata lain, penilaian terhadap diri sendiri menjadi tidak obyektif dan riil. Kedua pertanyaan tersebut saya pisah posisinya dalam survey yang kami sebar. Secara mengejutkan kami menemukan bahwa pada kalangan muda, mereka memiliki TPE yang tinggi terkait dengan isu 'Hamil di luar nikah'. Anak muda melihat peristiwa 'Hamil di luar nikah' sebagai sesuatu yang mustahil terjadi pada diri mereka sedangkan di sisi lain mereka me